UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun Oleh :
STEPHANIE TESALONIKA 27212144
BAB I
PENDAHULUAN
Perlindungan
konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas
setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Saat
ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan
konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
Konsumen
yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan
barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan
dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada
sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,
hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
A. Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima
asas perlindungan konsumen.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun
spiritual.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
B. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa
tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan
menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk
memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja
ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut
ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan
terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia
persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti
telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
•
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
•
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN
PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
3.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK
adalah:
1.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan
seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak
dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen
merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan
ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan
UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan
kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.
larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.
larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi
pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur
oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan
minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap
daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai
berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi
dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan
keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila
kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan
sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk
membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut
sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang
bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi
lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1)
dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari
“ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi,
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh
pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang
nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19
mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan,
kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20
dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut
hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand
diderita konsumen, apabila :
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
cacat barang timbul pada kemudian hari;
cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka
waktu yang diperjanjikan
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa
lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun
bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah
mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula
para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan
Konsumen ini.
Dalam pasal 62
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah
diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan
pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih
ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya,
masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini
peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman
klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara
penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang
tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas
bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku
usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda
paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata
:
Ganti rugi dalam bentuk :
Pengembalian uang atau
Penggantian barang atau
Perawatan kesehatan, dan/atau
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK
jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9,
10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11,
12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang
Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
Hukuman tambahan , antara lain :
Pengumuman keputusan Hakim
Pencabuttan izin usaha;
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
BAB
III
PENUTUP
Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti
luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu
baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku
usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya
SUMBER :
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=sanksi
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33
http://www.turnudy.com
http://www.wikipedia.com