Powered By Blogger

Minggu, 13 April 2014

BAB 5. HUKUM PERJANJIAN


UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI



HUKUM PERJANJIAN

Disusun Oleh :

STEPHANIE TESALONIKA               27212144






BAB I
PENDAHULUAN
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak akan ada kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang disepakati oleh masing masing pihak.
 


BAB II
LANDASAN TEORI

A.   Pengertian Hukum Perjanjian
1.    Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata .Perjanjian  menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi :
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a) Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c) Pengertian perjanjian terlalu luas
d) Tanpa menyebut tujuan
e) Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
f) Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
1. syarat ada persetuuan kehendak
2. syarat kecakapan pihak- pihak
3. ada hal tertentu
4. ada kausa yang halal

2. Menurut Rutten, Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.

3. Menurut adat, Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).

B.   Syarat – Syarat Sah Hukum Perjanjian

Hukum adalah sebuah system yang menetapkan suatu tingkah laku yang diperbolehkan, dilarang, atau yang harus dikerjakan. Berikut ini syarat sah hukum perjanjian yang penting dicatat, yaitu :

        Terdapat kesepakatan antara dua pihak ;
        Kedua pihak mampu membuat sebuah perjanjian ;
        Terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian ;
        Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar.

Selain poin diatas, sebuah perjanjian dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi dasar dan syarat – syaratnya. Berikut ini merupakan syarat sah sebuah perjanjian yang harus diperhatikan. ;
1.     Keinginan Bebas dari Pihak Terkait
Yang berarti bahwa pihak – pihak yang terlibat tidak dalam unsur paksaan, ancaman, maupun segala hal yang berbau tipu daya.

2.     Kecakapan dari Pembuat Perjanjian
Perjanjian harus dibuat oleh pihak – pihak yang secara hukum dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum. Contoh yang tidak cakap dalam melakukan tindakan hukum antara lain anak – anak, orang cacat, dll

3.     Ada Objek yang diperjanjikan
Perjanjian harus bersifat nyata / tidak fiktif

C.   Macam – Macam Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian  internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
a.     Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.

b. Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.
SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
  1. kesempatan penarikan kembali penawaran;
  2. penentuan resiko;
  3. saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
  4. menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian

Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)




Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4) Media pembayaran yang digunakan
5) Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:
1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)






Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat




BAB III
PENUTUP


Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua orang/dua pihak ituv saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal




DAFTAR PUSTAKA :





Tidak ada komentar:

Posting Komentar